Kajian fiqhi peradaban dan fiqh siyasah (politik) merupakan salah satu kajian yang selalu menarik untuk diperbincangkan, sebab objek kajian fiqhi tidak hanya terbatas pada teks dan teori semata, akan tetapi memadukan antara teks dan konteks, antara teori dan realita. Kehidupan manusia dari masa ke masa terus mengalami perkembangan dan perubahan, baik itu kondisi sosial, teknologi, budaya hingga pola pikir umat manusia selalu berubah sesuai dengan zamannya.
Apabila kita mereview sejarah kehidupan manusia, akan selalu diwarnai dengan peperangan dan perdamaian, bahkan hingga di era modern ini, dimana manusia cenderung berpikir realistis, peperangan masih saja tetap terjadi. Hal inilah yang melatarbelakangi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meluncurkan program Halaqah Fiqhi Peradaban sebagai bagian dari rangkaian Hari Lahir (Harlah) 1 Abad Nahdlatul Ulama pada hari kamis (11/09/2022) di pesantren Krapyak, Yogyakarta. Program ini akan dilaksanakan di 250 titik se-Indonesia selama lima bulan. Puncaknya akan digelar Muktamar Fiqhi Peradaban pada Januari 2023 mendatang.
Salah satu pesantren yang menggelar Halaqah Nasional Fiqhi Peradaban adalah Pondok Pesantren Nahdlatul Ulum di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Halaqah ini digelar pada hari Sabtu, 05 November 2022 dengan tema “Fiqh Siyasah Antara Perang dan Damai” dengan menghadirkan dua tokoh nasional yaitu KH. Mahbub Ma’afi, ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU dan Dr. Nur Taufiq Sanusi, M.Ag, Katib Syuriah PBNU sekaligus Pimpinan Pondok Pesantren Nahdlatul Ulum.
Acara dimulai pada jam 09.30 WITA dengan dihadiri oleh ratusan peserta yang terdiri 50 peserta utama dan puluhan peserta pendengar. Peserta utamanya berasal dari para pimpinan Pondok Pesantren di Kabupaten Maros dan beberapa pimpinan Badan Otonom Nahdlatul Ulama cabang Maros serta ketua atau pimpinan lembaga keagamaan di Kabupaten Maros, dan yang menjadi peserta pendengar adalah beberapa Pembina, guru, santri dan santriwati Pondok Pesantren Nahdlatul Ulum.
Acara ini dimulai dengan pembacaan ayat suci al-Qur’an lalu dilanjutkan dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Yalal Wathon, kemudian sambutan oleh ketua panitia Ust. Ibrahim Kamaruddin, Lc mengatakan: “kegiatan ini adalah upaya untuk menyebarkan perdamaian dan mencegah peperangan agar konsep rahmatan lil ‘alamin bisa tersebar luas di seluruh dunia khususnya di Indonesia”.
Bertindak sebagai moderator dalam halaqah ini, Ilham Ilyas, Lc., M.Ag memberikan pemantik diskusi dengan mengajak peserta untuk mengingat kembali sejarah peradaban dunia yang tidak pernah sepi dengan peperangan. Sebagai narasumber pertama, KH. Mahbub Ma’afi banyak bercerita tantang pandangan pandangan ulama fiqhi tentang peperangan yang banyak terjadi pada zaman dahulu. Beliau menyatakan: “pada zaman Rasulullah SAW dan beberapa masa setelah Rasulullah, peperangan dianggap wajar karena beberapa keadaan tertentu yang mengharuskan terjadinya perang. maka wajar apabila ada beberapa pandangan dalam empat mazhab fiqhi yang menyerukan berperang terhadap orang orang kafir terlebih lagi apabila ia enggan membayar jizyah, sehingga relasi antara muslim dengan non muslim pada masa itu adalah relasi peperangan”.
“akan tetapi keadaan sosial pada zaman dulu dengan sekarang jelas berbeda, sehingga pandangan tentang peperangan yang dulu dianggap wajar, sudah tidak boleh dipegangi pada masa kini. Sehingga pandangan pandangan ulama yang menyerukan peperangan sudah tidak relevan lagi, sesuai dengan kaidah yang menyatakan bahwa hukum itu selalu berubah sesuai dengan perubahan waktu dan tempat” tegas Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU.
Sebagai narasumber kedua, Dr. Nur Taufiq Sanusi, M.Ag memberikan informasi yang tidak kalah menarik tentang sebab seringnya terjadi peperangan pada masa lampau dengan mengkorelasikannya dengan ayat al-Qur’an. Beliau menyatakan: “dalam al-Qur’an, manusia terkadang disebut dengan istilah basyar dan insan, basyar itu adalah panggilan yang merujuk kepada sifat manusia yang emosional sedangkan insan adalah panggilan yang merujuk kepada manusia yang rasional. Maka titik perbedaan mayoritas manusia pada zaman dahulu adalah lebih mengedepankan basyariahnya dari pada insaniyahnya, berbeda dengan mayoritas manusia sekarang yang sudah lebih banyak mengedepankan sifat insaniyahnya, oleh karena itu kita tidak boleh lagi mundur dengan banyak merespon peristiwa dengan emosial”.
Setelah kedua narasumber menyampaikan materi seputar perang dan damai, moderator membuka sesi tanya jawab. Beberapa pimpinan Pondok Pesantren dan Pimpinan lembaga memberikan pertanyaan, diantaranya KH. Said Petombongi selaku Ketua BAZNAS Kab. Maros, menyempatkan diri untuk memberikan komentar dan bertanya kepada kedua narasumber tentang hubungan antara agama dan negara. Beliau berkata: “agama dan negara adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan, hanya saja kita harus lebih banyak fokus pada nilai-nilai agama yang secara substansional harus melekat pada negara dari pada hanya sekedar formalitas agamais yang ada dalam negara”. Beliau lalu bertanya tentang pandangan kedua narasumber terkait dengan langkah-langkah yang harus ditempuh untuk memahamkan orang orang agar bisa meminimalisir tersebarnya paham paham radikalisme yang banyak menebarkan kebencian.
Mengingat kegiatan halaqah sudah berlangsung cukup lama sedangkan waktu terbatas dan banyaknya peserta yang bersemangat untuk memberikan tanggapan dan pertanyaan, akhirnya sesi diskusi kemudian ditutup oleh moderator pada 13.00 WITA setelah narasumber menjawab beberapa pertanyaan dari para peserta.
Oleh: Ilham Ilyas, guru di pondok pesantren nahdlatul ulum maros.