Al-Mukarram AG. K.H. Dr. (H.C.) Muhammad Sanusi Baco, B.A., Lc., M.A.

Pendiri Pondok Pesantren Nahdlatul Ulum Maros

sb
Al-Mukarram AG. K.H. Dr. (H.C.) Muhammad Sanusi Baco, B.A., Lc., M.A. atau lebih dikenal dengan Anregurutta Sanusi Baco atau Gurutta Sanusi Baco (4 April 1937 – 15 Mei 2021) adalah salah seorang anregurutta atau ulama Sulawesi Selatan berdarah Bugis. Ia memiliki kompetensi keulamaan yang memadai terkait dengan berbagai aspek kehidupan yang aktual dalam kehidupan umat dan kemaslahatan bangsa. Ia merupakan pendiri sekaligus pimpinan di Pondok Pesantren Nahdlatul Ulum – Maros. Ia adalah sahabat dekat Quraish Shihab, Gus Dur, dan Gus Mus. Ia merupakan pimpinan MUI dan PWNU Sulawesi Selatan. Selain tugas pokoknya sebagai pendidik, Anregurutta Sanusi Baco dikenal sebagai mubaligh yang sulit dicari tandingannya. Ia dapat diterima oleh semua kalangan dan segmen masyarakat, karena kemampuannya untuk membawakan tema dan materi dakwah secara kontekstual. Berbagai jabatan yang dipegangnya inilah membuat ia menjadi sedikit ulama yang amat dekat dengan semua kalangan termasuk pemerintah. Empat periode ia menjabat Rais Syuriah PWNU Sulsel dan ketiga kalinya menjadi Ketua Umum MUI Sulsel, Ketua Umum Masjid Raya Makassar, dan Pimpinan Pondok Pesantren Nahdlatul Ulum. Ia merupakan perekat dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Ia tidak meledak-ledak dan selalu memilih kata-kata yang bijaksana dalam berucap, termasuk selalu prima dalam berpakaian termasuk dalam suasana duka sekalipun. Anregurutta Sanusi Baco merupakan sosok ulama kharismatik dan inspiratif serta menjadi panutan di Sulawesi Selatan. Ia kerap dikunjungi para tokoh dan pejabat untuk meminta nasihat dan wejangan darinya dalam membangun dan memberikan solusi keberagaman dan permasalahan di dalam masyarakat dan pemerintahan. Pada tahun 2020, ia dianugerahi penghargaan “Ikon Prestasi Pancasila Tahun 2020” kategori Tokoh dan Komunitas Penggerak Lintas Iman dari BPIP. Penghargaan itu karena kontribusi besarnya dalam mewujudkan perdamaian dan kerukunan umat beragama di Indonesia. Ia disebut mampu meredam tensi yang meninggi di Makassar ketika pemilihan Presiden berlangsung. Anregurutta Sanusi Baco juga dikenal ciri khas dakwahnya dengan tutur bahasa yang halus dan santun disertai isi nasihat atau petuah yang mencerahkan. Selain itu, ia berperan besar dalam keaktifannya merintis Nahdlatul Ulama di Sulawesi Selatan baik dari sisi pendidikan maupun kepemudaan.

Keluarga

Anregurutta Sanusi Baco adalah anak ke-2 dari 6 bersaudara. Ayah dari Anregurutta Sanusi Baco bernama Baco. Ia memperistri Dra. Hj. Aminah Sanusi dan memiliki 8 orang anak. Anregurutta Sanusi Baco dilahirkan di Talawe, Maros. Di kampung ini, ia menghabiskan sebagian masa kecilnya. Ia mengaku dirinya bukanlah turunan ulama. Ayah dan kakeknya bekerja sebagai petani. Bedanya dengan petani lain bahwa keluarganya termasuk golongan muhibban, yaitu orang-orang yang cinta ilmu dan cinta ulama. Karena itu, orangtuanya mengarahkannya ke (pendidikan) agama. Awalnya, agar semua anaknya pintar mengaji. Sebagaimana anak-anak lainnya, usia lima tahun Anregurutta Sanusi Baco dan saudara-saudaranya sudah harus belajar mengaji ke guru mengaji di kampungnya. Anak-anak mengaji secara tradisional di rumah guru sambil duduk bersila, yang dilakukan di sore hari. Anregurutta Sanusi Baco mengawali pendidikan formalnya di Sekolah Rakyat (1945-1948) di desa kelahirannya. Waktu itu zaman pendudukan Jepang. Setelah tamat SR Sanusi melanjutkan pelajaran ke Vervolk School (VS) di Kota Maros, kemudian ia dikirim ke Makassar untuk belajar di Darud Da’wah wal Irsyad di Galesong Baru. Setahun di Makassar, ia dipanggil pulang karena adiknya, perempuan, sakit yang tidak lama kemudian meninggal. Kepergian adiknya itu rupanya berpengaruh pada kondisi kesehatan ibunya yang akhirnya meninggal pada tahun yang sama. Waktu itu umur Anregurutta Sanusi Baco baru 13 tahun. Ia terpaksa berhenti sekolah dan ikut membantu bapaknya bertani. Pamannya, Haji Ali, berinisiatif mengirimnya ke Pesantren Mangkoso tahun 1950. Dukungan bukan hanya dari keluarga, melainkan juga dari masyarakat setempat. Maklum, waktu itu barulah ia sendjri yang merintis jalan menuntut ilmu agama di daerah lain. Demi cita-citanya Anregurutta Sanusi Baco sendiri harus berusaha memenuhi sebagai kebutuhan sekolahnya. Pada waktu libur ia biasa berjualan mangga muda yang dijajakannya keliling kampung. Selain itu, Anregurutta Sanusi Baco kecil juga memelihara kuda milik seorang Jepang yang kebetulan tinggal di rumah keluarganya di Panjallingan. Untuk pemiliharaan kuda tersebut ia memperoleh upah harian. Ketika pindah ke Makassar untuk belajar di DDI Galesong Baru Sanusi lagi-lagi tidak tinggal diam. Ia membantu neneknya menjualkan bambu yang dibawanya dengan gerobak dari Gusung ke Pasar Kalimbu. Ia juga sempat berjualan nenas irisan dan membantu pamannya berusaha penyeterikaan pakaian. Semua itu dilakukannya dengan penuh kesungguhan dalam suasana ekonomi yang secara umum amat sulit pada zaman pemerintahan Jepang. Pola hidup prihatin dan kerja keras semacam itu bagi kebanyakan orang adalah sebuah penderitaan. Di Pesantren DDI Mangkoso Kabupaten Barru ia belajar selama delapan tahun (1950-1958), menyelesaikan I’dadiyah 1 tahun, Tahdliriyah 3 tahun, dan Tsanawiyah 4 tahun.

Pendalaman Ilmu

Pelajaran pokok di kelas adalah fiqhi, tarikh, tauhid, tafsir, hadits. Selain pelajaran dalam bentuk klasikal di kelas, pelajaran juga diberikan dalam bentuk halaqah di masjid. Waktunya pada waktu malam, subuh, dan ashar. Pengajian Ashar ini khusus santri, tetapi antara Magrib-Isya dan Subuh terbuka untuk umum. Mulai dari raja, para pegawainya sampai kepala kampung ikut mengaji. Kitab-kitab yang dipelajari di halaqah adalah Irsyadul Ibad, Fathul Qarib, Minhajut Thalibin, Tanwirul Qulub, Tafsir Jalalain, dan Mukhtarul Ahadits. Untuk pengajian ini gurunya pilihan, seperti K.H. Amberi Said, K.H. Abd. Rasyid, K.H. Syuaib Magga, dan K.H. Hamzah. Sejak siswa di Mangkoso Sanusi sudah memperlihatkan bakatnya dalam bidang Bahasa Arab (Nahwu), Tafsir, dan Hadits. Bagi Sanusi, di pesantren itu banyak panutan. Akan tetapi ia mengaku guru yang paling banyak memberi warna pada dirinya adalah K.H. Syuaib Magga, K.H. Hamzah dan K.H. Amberi Said, pimpinan pondok, sendiri. Seingatnya, selama 8 tahun ia di sana K.H.Syuaib Magga tidak pernah absen memberi pengajian meski yang hadir hanya tiga orang. Kedisiplinan pimpinan pondok sendiri, K.H. Amberi Said, sangat berpengaruh bagi santri. Tokoh inilah yang paling diidolakannya. Kedisiplinan beliau adalah salah satu sifat yang paling dikagumi. Kiai Amberi juga Imam di desa itu. Akan tetapi, jabatan sosial itu tidak sedikitpun mengurangi kedisiplinannya di dalam mengajar. Selepas dari pesantren Sanusi melanjutkan kuliah di UMI, dan kemudian mendapat beasiswa ke Al-Azhar Mesir, atas nama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Empat tahun lamanya Sanusi kuliah di Al-Azhar sampai memperoleh gelar “Lc”. Ia kemudian kembali ke Indonesia tahun 1967. Waktu itu bersamaan dengan perang antara Mesir dan Israel, membuat sejumlah besar dana ditasharufkan untuk mendukung perang. Akibatnya, beasiswa tidak diperpanjang lagi. Selama di Mesir ulama yang paling berpengaruh pada dirinya adalah Rektor Al-Azhar sendiri, Prof. Dr. Muhammad Al-Bahy, Dekan Fakultas Ushuluddin Prof. Dr. Abd. Halim Mahmud, yang juga kemudian menjadi Rektor, dan Mutawalli Sya’rawi. Karirnya sebagai PegawaiNegeri Sipil dimulai tahun 1960, selaku guru agama di Madrasah Ibtidaiyah DDI Ranting Mariso, Makassar. Ia mengajar di sekolah ini selama tiga tahun, selanjutnya memperoleh beasiswa ke Universitas Al-Azhar di Mesir. Kembali dari Mesir tahun 1967, ia langsung beralih status sebagai dosen pada Fakultas Syari’ah IAIN Alauddin Makassar. Di Fakultas inilah ia mengabdi sampai pensiun pada tahun 2002. Selain menekuni tugas pokoknya sebagai dosen di IAIN Alauddin Makassar, ia juga merupakan tenaga pengajar pada beberapa perguruan tinggi, antara lain di Universitas Muslim Indonesia (UMI) dan Perguruan Tinggi Al-Gazali. Pada Perguruan Tinggi Al-Gazali ia merupakan salah seorang pembina sejak berdirinya pada tahun 1967, dan menjadi rektor lembaga milik NU tersebut ketika masih berstatus universitas dengan nama Universitas Al-Gazali dari tahun 1980 sampai terjadinya likuidasi. Jabatan akademik yang pernah dijabat adalah Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Gazali Bone dan Ketua Yayasan Asy’ariah yang menaungi Pondok Pesantren Nahdlatul Ulum di Soreang Maros. Pada organisasi keagamaan ia menjabat sebagai Rais Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Sulawesi Selatan selama empat periode berturut-turut. Ia juga sempat menjabat Ketua Umum PB DDI menyusul wafatnya K.H. Abd. Rahman Ambo Dalle. Pada organisasi keulamaan MUI ia terpilih sebagai Ketua Umum selama tiga periode kepengurusan. Selain aktivitas yang berkaitan dengan kedudukannya secara struktural di berbagai organisasi sosial keagamaan, porsi waktu yang paling besar diserap oleh kegiatannya di bidang dakwah. Aktivitasnya di bidang dakwah yang cenderung menghabiskan waktu hidupnya itu, sudah kelihatan sejak kepulangannya dari Mesir. Dan kecenderungan tersebut tidak pernah surut sampai tutup usia. Bahkan boleh jadi semakin berat karena harus dilakukan di tengah tugas-tugas struktural di berbagai organisasi keagamaan dan pendidikan yang dijabatnya. Ia kawin dengan Dra. Aminah Adam dan dikaruniai delapan orang putra putri. Tinggal di Jalan Pongtiku No. 25A Makassar kemudian pindah ke Jalan Kelapa. Dra. Hj. Aminah Sanusi, wafat 9 Juli 2002.

Riwayat pendidikan

  • Sekolah Rakyat di Talawe, Maros (1945-1948)
  • Vervolk School, Maros (1948-1949)
  • Pondok Pesantren Darud Da’wah wal Irsyad (DDI) Galesong Baru, Makassar (1949-1950)
  • Madrasah I’dadiyah di Pondok Pesantren Darud Da’wah wal Irsyad (DDI) Mangkoso, Barru (1950-1951)
  • Madrasah Tahdliriyah di Pondok Pesantren Darud Da’wah wal Irsyad (DDI) Mangkoso, Barru (1951-1954)
  • Madrasah Tsanawiyah di Pondok Pesantren Darud Da’wah wal Irsyad (DDI) Mangkoso, Barru (1954-1958)
  • S1 Gelar Sarjana Muda (B.A.) di Universitas Muslim Indonesia (UMI), Kota Makassar, Sulawesi Selatan (1958-1960)
  • S1 Universitas Al-Azhar, Mesir (1963-1967)

Karier pekerjaan

  • Perawat kuda tentara Jepang di Maros
  • Pengajar di Universitas Muslim Indonesia (UMI)
  • Pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Al-Gazali (sekarang merger Sekolah Tinggi lainnya dan bernama Universitas Islam Makassar)
  • Anggota Dewan Pengawas Syariah Bank Sulselbar
  • Guru PNS di Madrasah Ibtidaiyah DDI Ranting Mariso, Makassar (1960-1963)
  • Dosen PNS Tetap di Fakultas Syariah IAIN Alauddin Makassar (sekarang UINAM Makassar) (1967-2002)

Riwayat organisasi

  • Pengurus di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)
  • Pelatih para mahasiswa untuk ikut berjuang pembebasan Irian Barat atas Kolonial Belanda
  • Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sulawesi Selatan (Periode I, Masa Bakti 2006-2011)
  • Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sulawesi Selatan (Periode II, Masa Bakti 2011-2016)
  • Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sulawesi Selatan (Periode III, Masa Bakti 2016-2021)
  • Rais Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Provinsi Sulawesi Selatan (Periode I, Masa Bakti 1998-2003)
  • Rais Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Provinsi Sulawesi Selatan (Periode II, Masa Bakti 2003-2008)
  • Rais Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Provinsi Sulawesi Selatan (Periode III, Masa Bakti 2013-2018)
  • Rais Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Provinsi Sulawesi Selatan (Periode IV, Masa Bakti 2018-2023)
  • Ketua Pengurus Yayasan Masjid Raya Makassar
  • Mustasyar PBNU (2015-2020)
  • Pendiri dan Pimpinan Pondok Pesantren Nahdlatul Ulum – Maros (2001-2021)
  • Pendiri sekaligus Rektor Sekolah Tinggi Al-Gazali Cabang STAI Al-Gazali (sekarang bernama Universitas Islam Makassar)
  • Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Gazali Bone
  • Ketua Yayasan Asy’ariah
  • Ketua Umum Pengurus Besar DDI

Prestasi dan penghargaan

  • Beasiswa kuliah S1 di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, dari Departemen Agama Republik Indonesia (1963).
  • Pemberian gelar Doktor Honoris Causa (Dr. H.C.) dari Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (20 Desember 2012).
  • Piagam penghargaan dari Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan pada acara Syukuran perayaan HUT Bhayangkara ke-73 (10 Juli 2019)
  • Penghargaan “Pria Inspiratif” dari Forum Pemimpin Perempuan Makassar (FPPM) (15 Maret 2020).
  • Penghargaan “Ikon Prestasi Pancasila Tahun 2020” kategori Tokoh dan Komunitas Penggerak Lintas Iman dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) (23 Agustus 2020).
Anregurutta Sanusi Baco meninggal dunia pada Sabtu, 15 Mei 2021 sekitar pukul 20.00 WITA dalam usia 84 tahun dalam perawatan di Rumah Sakit Primaya Makassar (dulu RS Awal Bros Makassar). Ia sebelumnya dirawat karena sakit. Sebelum meninggal, ia sempat dirawat di rumahnya. Sejak Jumat pagi, 14 Mei 2021, ia mengalami sakit berat. Hingga akhirnya wafat pada Sabtu malam. Pada 2018, ia juga sempat mengidap penyakit berat dan dirawat di rumah sakit. Ia dimakamkan pada Minggu sore, 16 Mei 2021 di kampung halamannya di Kampung Talawe, Lingkungan Panjallingan, Kelurahan Bontoa, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.

Karya dan Peninggalan

  • Pondok Pesantren Nahdlatul Ulum – Maros